Pertengahan Juni mendatang, Bank Indonesia (BI) mulai memberlakukan ketentuan rasio loan to value (LTV) kredit pemilikan rumah (KPR) 70% bagi rumah tinggal atau apartemen dengan luas bangunan minimal 70 meter persegi. Artinya, uang muka atau down payment (DP) KPR ditetapkan minimal 30% dari harga properti.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap bisnis properti di Tanah Air. Untuk mengetahui dampak peraturan tersebut bagi pengembang dan konsumen, Rumah.com berkesempatan mewawancarai Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Setyo Maharso, di kantornya beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana pengaruh LTV bagi pengembang?Sebenarnya pengaruh aturan LTV secara langsung tidak ada. Tetapi pasti, untuk sementara penjualan rumah akan menurun. Di sisi lain, developer juga mau jualan, jadi biasanya mereka melakukan beberapa trik, seperti memberi fasilitas angsuran uang muka bagi konsumen.
Mengenai LTV, ada sisi lain yang harus dilihat. Dalam mengucurkan kredit, bank punya kemandirian untuk menilai kemampuan si konsumen. Sebenarnya, soal besaran DP diserahkan saja kepada bank, tidak perlu diatur BI dan diekspos besar-besaran seperti ini. Sekarang, sebagian bank memang ada yang menerapkan DP 10%, tetapi tidak semua, tergantung kemampuan mengangsur dari si konsumen.
Peraturan LTV ini berlaku untuk unit tipe 70 ke atas. Bagaimana pengaruhnya pada konsumen kelas menengah? Kalangan menengah sebagai konsumen akan syok sementara waktu, tetapi nanti juga mereka akan menyesuaikan diri. Tetapi, saya kasihan pada konsumen di luar Jawa. Di sana, harga rumah tipe 70 sekitar Rp300 jutaan, sementara di Jakarta, harga rumah tipe 36 bisa Rp500 juta - Rp600 jutaan.
Artinya, jika membeli rumah dengan harga Rp300 juta di Jawa, konsumen bisa membayar DP 10%, karena rumahnya di bawah tipe 70. Tetapi di luar Jawa, konsumen harus menyiapkan dana Rp90 juta. Meski mereka mendapat rumah yang lebih besar, tapi hal ini tidak adil.
Jadi, apakah sebaiknya diatur berdasarkan harga?Saya waktu itu memang mengusulkan agar diatur berdasarkan harga rumah, antara Rp700 juta – Rp1 miliar. Saat ini, tidak mungkin bank memberikan LTV 70% jika melihat konsumen mampu mengangsur, pasti LTV-nya bisa 50%.
Range uang muka untuk kelas menengah saat ini berkisar 20% - 40%, jadi tidak pas 30%. Sebab, bank punya penilaian sendiri. Mereka (bank) kan tidak mau kreditnya macet gara-gara hal itu.
Saat ini apakah banyak KPR yang macet?NPL (non performing loan alias kredit macet) untuk KPR, saat ini kurang dari 2%. Kredit yang memiliki banyak masalah adalah kredit multi guna. Misalnya, Anda mau buka usaha dengan mengagunkan rumah. Nah, kredit semacam ini yang banyak macet.
Dari sisi REI, apa yang dilakukan terkait LTV?Kami sudah ketemu dengan BI tiga kali. BI melakukan ini dengan alasan khawatir terjadi bubble properti. Bagaimana bisa bubble, karena ketertinggalan perumahan (backlog) kita masih besar, pertumbuhan (backlog) per tahun pun besar.
Kita harus menyelesaikan ketertinggalan 10 juta unit, belum lagi pertumbuhannya setiap tahun. Saya tidak tahu BI berfikirnya seperti apa. Makanya, kita harus duduk bersama supaya tahu kondisi riil di lapangan.
Jadi peraturan BI ini akhirnya menambah backlog?Ya. Saya beri ilustrasi, misalnya ada orang gajinya Rp10 juta. Dia tidak bisa mengambil RST (rumah sederhana tapak), karena RST hanya untuk mereka yang berpenghasilan maksimal Rp3,5 juta. Tetapi di sisi lain, dia juga dibatasi dengan peraturan LTV yang baru, padahal dia belum punya rumah. Jadi hal ini lucu juga.
Alasan BI membuat peraturan ini, juga untuk membatasi kelas menengah atas. Usul saya, aturan LTV itu tidak diberlakukan untuk rumah pertama dan kedua. Sementara untuk rumah ketiga dan seterusnya—yang digunakan sebagai investasi—bisa diberlakukan.
Hal ini tentu berpengaruh terhadap bisnis properti di Tanah Air. Untuk mengetahui dampak peraturan tersebut bagi pengembang dan konsumen, Rumah.com berkesempatan mewawancarai Ketua Umum DPP Real Estat Indonesia (REI), Setyo Maharso, di kantornya beberapa waktu lalu. Berikut petikannya:
Bagaimana pengaruh LTV bagi pengembang?Sebenarnya pengaruh aturan LTV secara langsung tidak ada. Tetapi pasti, untuk sementara penjualan rumah akan menurun. Di sisi lain, developer juga mau jualan, jadi biasanya mereka melakukan beberapa trik, seperti memberi fasilitas angsuran uang muka bagi konsumen.
Mengenai LTV, ada sisi lain yang harus dilihat. Dalam mengucurkan kredit, bank punya kemandirian untuk menilai kemampuan si konsumen. Sebenarnya, soal besaran DP diserahkan saja kepada bank, tidak perlu diatur BI dan diekspos besar-besaran seperti ini. Sekarang, sebagian bank memang ada yang menerapkan DP 10%, tetapi tidak semua, tergantung kemampuan mengangsur dari si konsumen.
Peraturan LTV ini berlaku untuk unit tipe 70 ke atas. Bagaimana pengaruhnya pada konsumen kelas menengah? Kalangan menengah sebagai konsumen akan syok sementara waktu, tetapi nanti juga mereka akan menyesuaikan diri. Tetapi, saya kasihan pada konsumen di luar Jawa. Di sana, harga rumah tipe 70 sekitar Rp300 jutaan, sementara di Jakarta, harga rumah tipe 36 bisa Rp500 juta - Rp600 jutaan.
Artinya, jika membeli rumah dengan harga Rp300 juta di Jawa, konsumen bisa membayar DP 10%, karena rumahnya di bawah tipe 70. Tetapi di luar Jawa, konsumen harus menyiapkan dana Rp90 juta. Meski mereka mendapat rumah yang lebih besar, tapi hal ini tidak adil.
Jadi, apakah sebaiknya diatur berdasarkan harga?Saya waktu itu memang mengusulkan agar diatur berdasarkan harga rumah, antara Rp700 juta – Rp1 miliar. Saat ini, tidak mungkin bank memberikan LTV 70% jika melihat konsumen mampu mengangsur, pasti LTV-nya bisa 50%.
Range uang muka untuk kelas menengah saat ini berkisar 20% - 40%, jadi tidak pas 30%. Sebab, bank punya penilaian sendiri. Mereka (bank) kan tidak mau kreditnya macet gara-gara hal itu.
Saat ini apakah banyak KPR yang macet?NPL (non performing loan alias kredit macet) untuk KPR, saat ini kurang dari 2%. Kredit yang memiliki banyak masalah adalah kredit multi guna. Misalnya, Anda mau buka usaha dengan mengagunkan rumah. Nah, kredit semacam ini yang banyak macet.
Dari sisi REI, apa yang dilakukan terkait LTV?Kami sudah ketemu dengan BI tiga kali. BI melakukan ini dengan alasan khawatir terjadi bubble properti. Bagaimana bisa bubble, karena ketertinggalan perumahan (backlog) kita masih besar, pertumbuhan (backlog) per tahun pun besar.
Kita harus menyelesaikan ketertinggalan 10 juta unit, belum lagi pertumbuhannya setiap tahun. Saya tidak tahu BI berfikirnya seperti apa. Makanya, kita harus duduk bersama supaya tahu kondisi riil di lapangan.
Jadi peraturan BI ini akhirnya menambah backlog?Ya. Saya beri ilustrasi, misalnya ada orang gajinya Rp10 juta. Dia tidak bisa mengambil RST (rumah sederhana tapak), karena RST hanya untuk mereka yang berpenghasilan maksimal Rp3,5 juta. Tetapi di sisi lain, dia juga dibatasi dengan peraturan LTV yang baru, padahal dia belum punya rumah. Jadi hal ini lucu juga.
Alasan BI membuat peraturan ini, juga untuk membatasi kelas menengah atas. Usul saya, aturan LTV itu tidak diberlakukan untuk rumah pertama dan kedua. Sementara untuk rumah ketiga dan seterusnya—yang digunakan sebagai investasi—bisa diberlakukan.